SELAMAT DATANG DIBLOG SAYA

Sabtu, 05 November 2011

Penggolongan antibiotik

Pendahuluan
Salah satu kuman patogen yang sering menjadi penyebab infeksi adalah Staphylococcus aureus dengan manifestasi infeksi yang ringan hingga berat. Meskipun mortalitas yang ditimbulkan menurun sejak 50 tahun terakhir, namun tidak demikian dengan kejadian resistensi terhadap preparat antimikroba. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu enzim yang dihasilkan S.aureus terhadap penicillin,penicillinase (beta-laktamase) dan methicillin merupakan salah satu enzim tersebut.
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pertamakali dilaporkan tahun 1960, saat itu semakin banyak kasus yang ditemukan hingga pada tahun 1970 terjadi penurunan kasus yang diduga karena pengawasan kasus infeksi dan penggunaan antibiotik yang baik. Namun kasus MRSA kembali banyak dilaporkan pada akhir dekade tersebut terutama di Australia, Irlandia dan Amerika Serikat.

Morfologi
S.aureus merupakan kuman gram positif berbentuk bulat dengan diameter 0,5-0,7
dan mempunyai dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan, asam teikoik, fibronectin binding protein, clumping factors dan collagen binding protein. Komponen utama dinding sel adalah peptidoglikan yang menyusun hampir 50% dari berat dinding sel.
Peptidoglikan tersusun dari polimer polisakarida (asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramik), polipeptida (L-Ala, D-Glu, L-Lys, D-Ala, D-ala) dan sebuah jembatan pentaglisin. Melalui katalisis transpeptidase oleh Penicillin-Binding Protein (PBP), setiap peptidoglikan akan saling berikatan dengan peptidoglikan lainnya dengan cara merubah rantai alanin agar berikatan dengan jembatan pentaglisin dari peptidoglikan lainnya. Proses menghasilkan suatu struktur dinding sel yang padat. Beberapa enzim juga dihasilkan oleh S.aureus, diantaranya koagulase, clumping factor, hialuronidase dan -laktamase.
S.aureus sudah dikenal sebagai penyebab infeksi sejak tahun 1882 oleh Ogston. Mikroorganisme ini merupakan flora yang juga ditemukan pada area perianal, inguinal, aksila dan hidung (nares anterior). Sekitar 11-32% individu sehat mempunyai mikroorganisme ini dan 25% ditemukan pada tenaga kesehatan rumah sakit. Persentase tersebut lebih tinggi lagi pada pengguna obat suntik, pasien dengan masalah kulit dan pengguna infus. Individu-individu karier yang terpapar ini mempunyai makna klinis karena berresiko lebih tinggi terjadi infeksi dibandingkan bukan karier.

Antibiotik Beta Laktam
Penggunaan antibiotik mulai berkembang pada awal abad 20 oleh Paul Ehrlich dan kemudian pada tahun 1928 Alexander Fleming menemukan Penicillin notatum. Sejak itu penggunaan antibiotik berkembang pesat. S.aureus merupakan mikroorganisme prokariota gram positif yang sensitif terhadap preparat penicillin yang merupakan golongan antibiotik beta laktam. Terdapat 4 golongan antibiotik beta laktam; penisilin, sefalosporin, monobaktam dan karbapenem. Struktur beta laktam merupakan rantai yang terdiri dari 3 ion karbon dan 1 ion hidrogen, stuktur ini berperan pada kerja obat terhadap mikroorganisme. Struktur tersebut merupakan analog dari komponen peptida D-alanyl –D-alanine yang terdapat pada peptidoglikan sehingga struktur beta laktam tersebut yang akan berikatan dengan PBP dan terjadi inhibisi reaksi transpeptidase.

Mekanisme resistensi
Resistensi antibiotik terdiri dari resistensi natural dan aquired. Resistensi natural disebabkan aktivitas antibiotik yang berkurang dari spektrum biasanya, sedangkan resistensi aquired disebabkan oleh peningkatan minimal inhibitory concentration (MIC). Peningkatan faktor yang menentukan efektifitas suatu antibiotik ini dapat terjadi lambat (resistensi aquired relatif) ataupun cepat (resistensi aquired absolut), yang disebut terakhir disebabkan oleh suatu mutasi gen. Resistensi antibiotik beta laktam disebabkan oleh salah satu dari mekanisme berikut; inaktivasi oleh enzim beta-laktamase, modifikasi target PBP, penurunan kemampuan antibiotik terhadap PBP dan adanya pompa efluks. Enzim beta-laktamase merupakan penyebab utama resistensi, lebih dari 100 macam enzim sudah diidenfikasi oleh bermacam mikroorganisme. S.aureus, spesies haemophillus dan E.coli menghasilkan enzim yang hanya bekerja pada penisilin, sedangkan Pseudomonas aeruginosa dan spesies enterobacter menghasilkan enzim yang bekerja pada penisilin dan sefalosporin. Resistensi terhadap komponen -laktam yang tidak terhidrolisis oleh enzim-enzim -laktamase seperti methicillin, oxacillin, nafcillin, cloxacillin dan dicloxacillin disebut dengan resistensi intrinsik atau resistensi methicillin. Resistensi ini disebabkan oleh perubahan afinitas penicillin binding protein 2a (PBP2a) akibat mutasi gen mecA. Penyebab kedua resistensi antibiotik beta laktam disebabkan perubahan afinitas PBP terhadap struktur beta laktam dan hal ini terjadi pada methicillin resistance staphylococcus dan penicillin resistance pneumococcus. Resistensi akibat penurunan kemampuan antibiotik berikatan dengan PBP hanya terjadi pada spesies gram negatif akibat impermeabilitas membran luar. Pada gram negatif, antibiotik terlebih dahulu melalui porin yang berada pada membran luar sel dan kemudian baru masuk kedalam sel, sehingga pada mikroorganisme gram positif yang tidak mempunyai struktur kanal tersebut menyebabkan mengurangi kemampuan obat masuk kedalam sel. Selain itu mikroorganisme gram negatif mempunyai pompa efluks sehingga dapat memompa antibiotik yang sudah berada dalam ruang periplasmik kembali keluar sel.

Methicillin Resistance Staphilococcus aureus (MRSA)
Dalam 20 tahun terakhir terdapat peningkatan propporsi MRSA dari 2% menjadi 29% dan angka tersebut lebih tinggi pada rumah sakit yang mempunyai kapasitas rawat lebih dari 500 orang, yaitu 38%. MRSA dapat ditemukan pada pasien yang pernah dirawat inap, menggunakan antibiotik atau perawatan intensif. Kolonisasi MRSA dapat persisten selama 3 tahun, sehingga transmisi melalui tangan para pekerja kesehatan merupakan penyebab utama penyebaran MRSA dirumah sakit. Pada 83% kasus bakterimia pada MRSA, ditemukan kolonisasi sebelumnya. Penggunaan antibiotik akan merubah flora normal tubuh menjadi flora yang resisten. Tingginya penggunaan antibiotik pada perawatan intensif menyumbang peran terjadi MRSA, sefalosporin dan kuinolon secara bermakna berkaitan erat dengan kolonisasi MRSA. Lama perawatan intensif juga berperan infeksi MRSA, Ibelings dkk melaporkan lama perawatan lebih 2 minggu mempunyai resiko 2,5 kali sedangkan jika lebih dari 3 minggu akan meningkat menjadi 4 kali terhadap resiko infeksi MRSA. Selain pada pasien dengan perawatan paska surgikal, pengguna alat-alat invasif dan pengguna antibiotik, MRSA dapat terjadi pada sirosis, transplantasi hepar, diabetes serta pengguna kortikosteroid.
Peranan pemeriksaan laboratorium yang cepat dan akurat masih merupakan kendala dalam identifikasi MRSA, diperlukan waktu lebih dari 48 jam untuk pemeriksaan tersebut. Isolasi mikroorganisme sering kali menggunakan media padat yang mengandung oksasilin dan natrium klorida. Metode identifikasi menggunakan teknik molekular dengan cara mendeteksi gen mecA mempunyai keunggulan dalam kecepatan dan saat ini dikembangkan untuk menjadi baku emas identifikasi MRSA kendati masih memerlukan waktu minimal 24 jam untuk kultur.

Tatalaksana
Penanganan infeksi MRSA dapat dengan preventif dengan pengendalian infeksi dan kuratif. Pengendalian infeksi dilakukan dengan higiene tangan, penapisan dan isolasi pasien, eradikasi kolonisasi, kebersihan lingkungan. Sedangkan terapi medikamentosa menggunakan preparat vancomisin, teicoplanin, linezolid, quinupristin/dalfopristin dan beberapa preparat lain yang masih dapat digunakan seperti kotrimoksazol
Higiene tangan berperan pada transmisi infeksi nosokomial pada pekerja kesehatan, namun kesadaran akan hal tersebut masih rendah, bahkan pada suatu rumah sakit pendidikan saja hanya 48% yang mematuhi hal tersebut. Cara mencuci tangan merupakan hal yang harus diketahui dengan baik, penggunaan sabun yang mengandung alkohol akan mengurangi waktu yang diperlukan untuk mencuci tangan. Hal ini berguna pada instalasi intensif yang mobilisasinya lebih cepat dibandingkan instalasi rawat biasa.
Reservoir MRSA dapat berasal dari kolonisasi dan proses infeksi. Dilaporkan kolonisasi dan infeksi MRSA pada seseorang berkaitan erat dengan jumlah pasien yang mempunyai MRSA saat perawatan. Hal ini menyebabkan pentingnya identifikasi dini guna melakukan isolasi dan pengendalian infeksi. Penapisan dilakukan minimal setiap minggu dengan pengambilan sampel dari hidung dan perineum. Jika didapatkan hasil positif maka sebaiknya dilakukan isolasi pasien namun hal ini dianggap sama efektifnya dengan pengaturan penggunaan antibiotik. Eradikasi kolonisasi MRSA tidak banyak diyakini efektifitasnya, namun mupirosin topikal dapat mengurangi jumlah kolonisasi. Penularan melalui faktor lingkungan perlu menjadi perhatian tersendiri dan kemampuan S.aureus hidup saat berada dilingkungan menentukan transmisi cara ini. Beberapa penelitian melaporkan kemampuan hidup mikroorganisme ini pada lingkungan rumah sakit dapat bertahan dalam 24 jam bahkan jika berada pada material poliester dan polietilen akan bertahan 56 hari dan 90 hari.
Medikamentosa digunakan pada penanganan kuratif infeksi MRSA. Preparat glikopeptida seperti vankomisin dan teikoplanin merupakan pilihan utama. Namun sejak dilaporkan adanya glikopeptida resistensi intermdiate S.aureus (GISA) tahun 1996, beberapa preparat antibiotik alternatif mulai dikembangkan. Linezolid merupakan golongan oksazolidinon yang sudah digunakan di Inggris tahun 2001. Preparat ini bekerja pada proses sintesis protein dan sama efektifnya dengan vankomisin pada pneumonia nosokomial serta sediaan oral menjadi keunggulan lainnya. Namun biaya yang diperlukan lebih besar 10 kali dibandingkan vankomisin. Quinopristin-dalfopristin merupakan golongan makrolide-linkosamid-streptogramin dan terdiri dari streptogramin pristamisin IA dan IIB dengan rasio 30:70. Kendati efektif pada mikroorganisme gram positif nammun tidak demikian dengan Enterococcus faecalis. Preparat ini hanya mempunyai sediaan parenteral dengan efektifitas terapi MRSA antara 64-76%. Preparat lain yang sedang dikembangkan diantaranya tigesiklin (GAR-936) yang merupakan derivat minosiklin dari antibiotik golongan terbaru, glisilsiklin. Selain itu terdapat 2 preparat lain yang masing-masing dari golongan karbapenem (CP5609 dan CS-023) dan sefalosporin (BAL9141 dan S-3578).

Kesimpulan
S.aureus merupakan mikroorganisme patogen yang sering menjadi penyebab infeksi. Peran enzim beta laktamase berperan pada kejadian resistensi antibiotik dan MRSA dapat ditemukan pada komonitas dan rumah sakit. Faktor resiko kolonisasi atau infeksi MRSA ditentukan oleh beberapa hal seperti penggunaan antibiotik, perawatan intensif, interaksi dengan rumah sakit serta beberapa kondisi seperti diabetes, sirosis, transplantasi hepar serta pengguna kortikosteroid. Tatalaksana dapat dilakukan dengan preventif dan medikamentosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar